Hati harus benar-benar lurus, tidak boleh ada sedikit pun niat dan kepentingan lainnya dalam melaksanakan ibadah haji.
Haji secara bahasa berarti menuju atau menziarahi suatu tempat. Menurut istilah fikih ziarah ke Baitullah, Mekah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara tertentu, dalam waktu dan tempat-tempat tertentu. Ibadah haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima yang diwajibkan pada tahun kesembilan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Ibadah haji sudah dikenal dari masa Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim beserta putranya Ismail disuruh Allah SWT membangun Baitullah (Ka'bah). Kemudian ia disuruh mengajak umat manusia menziarahi rumah Allah tersebut. Dari waktu itu bangsa Arab di sekitarnya setiap tahun berbondong-bondong menuju Ka'bah untuk melakukan ibadah haji dengan cara syariat Nabi Ibrahim. Pelaksanaan haji berjalan terus sampai masa Muhammad diutus menjadi Rasulullah.
Semulia-mulianya haji, adalah mereka yang dapat menggapai predikat mabrur. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof DR KH Satori Ismail mengungkapkan haji mabrur adalah haji yang diterima Allah SWT, yaitu ibadah haji yang dilaksanakan jamaah haji dengan melengkapi syarat, rukun, dan wajibnya. Selain itu, saat pelaksanaannya, tidak melakukan pelanggaran sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat Albaqarah (2) ayat 197, ''Barangsiapa yang berniat melakukan ibadah haji, maka hendaklah tidak rafats, tidak berbuat fasik dan tidak berbantah-bantahan.''
Upaya untuk mendapatkan haji yang mabrur tersebut, kata Satori, ditempuh dengan berbagai cara. Sebelum berangkat haji dia harus melakukan hal-hal yang mendukung hajinya, yaitu pertama, bekalnya yang digunakan adalah bekal yang halal. Kedua, dia betul-betul niat ikhlas karena Allah SWT. Ketiga, berbekal ketakwaan. Keempat, mengerti tentang ilmu pelaksanaan haji. Mengerti rukun haji itu apa saja, wajib haji apa saja, larangan-larangan ihram apa saja. Kemudian kelima, dia mengerti ilmu tentang ibadah selama dalam perjalanan. Umpamanya, bagaimana tayamum, shalat dalam perjalanan, jama', qashar, dan seterusnya. ''Ini sesuatu yang harus dilengkapi sebelum berangkat haji,'' jelasnya.
Sedangkan, saat melaksanakan ibadah haji, barangsiapa yang sudah niat untuk melaksanakan ibadah haji maka tidak boleh berbicara kotor, tidak boleh melanggar aturan-aturan agama Islam. Juga tidak boleh maksiat, dan tidak boleh berbantah-bantahan. Jadi, selama haji dia lakukan ikhlas karena Allah SWT.''
Selama di Tanah Suci, Satori menyarankan untuk memperbanyak dzikir dan menggunakan waktu sefektif mungkin.Laksanakan ibadah dengan tenang tanpa mengganggu orang lain. Jika ada kesempatan, berkurban. Sebaik-baiknya haji adalah yang banyak membaca talbiyah dan bisa berkurban,'' ungkapnya, mengutip hadis Rasulullah SAW.
Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Drs KH Amidhan menyatakan keutamaan ibadah haji yang mabrur. Ia lalu mengutip sebuah sabda Rasulullah SAW yang artinya: ''Haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.''
Menurut Amidhan, memang balasan surga adanya di akhirat. Namun sesungguhnya, balasan di dunia pun tetap ada yakni dalam perilaku yang berubah dan lebih baik. ''Seseorang yang ibadah hajinya meraih predikat mabrur, akan terlihat sekembalinya ke Tanah Air. Ia berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan bukan untuk mencari status. Jadi, niat dan hati harus lurus semata karena Allah SWT,'' jelasnya, Rabu (14/11).
Sebaliknya, sambung Amidhan, seorang jamaah haji yang ternyata sama sekali tidak ada perubahan setelah dan sebelum berangkat ke Tanah Suci, maka bisa dikatakan ia berpredikat haji mardud (haji yang ditolak). ''Dan ini gampang mengenalinya. Misalnya kebiasaan shalatnya yang bolong-bolong, masih tetap. Begitu juga sikapnya kepada orang-orang yang tak mampu yang ada di sekitarnya, dia masih kurang peduli. Jelas, ini bukanlah perilaku haji mabrur,'' jelas Amidhan.
Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Ulum Sawangan Depok KH Drs Anwar Hidayat SH menjelaskan predikat haji yang mabrur hanya bisa diraih dengan niat dan hati yang lurus semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT di Tanah Suci. ''Jadi hati harus benar-benar lurus, tidak boleh ada sedikit pun untuk kepentingan lainnya dalam melaksanakan ibadah haji, ujar Kiai Anwar.
Karena itu, kata dia, semua atribut duniawi harus ditinggalkan di Tanah Air. ''Semua atribut dunia mulai pangkat, jabatan dan harta, harus ditinggalkan di Tanah Air dan tidak perlu dibawa ke Tanah Suci. Kita harus benar-benar ikhlas melakukan taubat seperti yang dilakukan Nabi Adam AS setelah melakukan kedzaliman,'' jelasnya.
Taubat yang semata-mata untuk meraih ampunan dari Yang Mahakuasa, dilakukan Nabi Adam AS selama 40 tahun di Padang Arafah. ''Bayangkan untuk satu kesalahan dan kedzaliman, Nabi Adam melakukan taubat di Arafah selama 40 tahun dengan sedikit pun tidak berani mengangkat kepalanya. Dengan penuh rasa malu dan tak henti-hentinya Nabi Adam AS memohon kepada Allah SWT untuk diampuni atas kedzaliman yang telah diperbuatnya.'' dam
( sumber : www.republika.co.id)